STOP SMOKE BE REAL

Merokok tentu sulit untuk dihilangkan, Namun efeknya kita yang tentukan.

Pages

Wednesday 23 January 2013

Privatisasi, Program Penyejahteraan atau Penyengsaraan?


Privatisasi, Program Penyejahteraan atau Penyengsaraan?


Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta adalah fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut. Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia, akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu yang sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi program yang begitu dikampanyekan dengan massif?

Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta adalah fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut. Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia, akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu yang sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi program yang begitu dikampanyekan dengan massif?

Washington Consensus Versus Post-Washington Consensus
Washington Consensus adalah program bantuan kepada negara berkembang yang menghadapi krisis yang mempunyai 10 ketentuan yang harus dilaksanakan oleh negara yang diberi bantuan. Di antara 10 poin tersebut, privatisasi, liberalisasi dan disiplin fiskal adalah pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar secara efektif.


Washington Consensus kemudian banyak mendapat kritikan atas dampak sosial yang dihasilkannya. Asumsinya bahwa pasar adalah mekanisme sosial yang paling efisien dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dipandang meleset. Menurut banyak entitas gerakan di Negara berkembang (juga di Indonesia), sebagai Negara yang merasakan langsung dampaknya, Washington Consensus mengabaikan persoalan persoalan seperti: redsitribusi pendapatan; pemerataan (equity) di masyarakat ataupun antar negara; isu-isu sosial  seperti ketenagakerjaan dan hak-hak buruh, serta; problem lingkungan hidup.

Kritikan ini sejalan dengan kritikan para ekonom barat pro-pasar seperti Joseph E. Stiglitz, Paul Krugman, Jeffrey sachs dan Jagdish Bhagwati yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Post-Washington Consensus. Consensus baru ini  meyakini perlunya keterlibatan Negara untuk mengembangkan sistem pasar dan pentingnya factor non-ekonomi dalam menjalankan tatanan sosial.

Privatisasi: desakan negara-negara maju
IMF dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat berkepentingan dalam mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan privatisasi. Maka, dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan finansial kepada negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa untuk memasukkan persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh pemerintah.

Kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap ekonomi neo-liberal yang dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial, ekonomi, politik negara maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju, privatisasi berjalan mulus atas kontrol negara yang ketat kepada swasta. Sementara di negara berkembang, jika mengikuti persyaratan lembaga internasional untuk melepaskan kontrol negara terhadap layanan publik, justru akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini disebabkan masih lemahnya fungsi regulasi  pendukung iklim kompetisi dan aturan main yang jelas tentang privatisasi.

Privatisasi segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang tajam dari beragam elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja yang tersedia; ketiga,absennya aturan main yang mengatur privatisasi, sehingga privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pasar daripada pelayanan sosial; keempat, hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru dalam tata kelola aset-aset negara.  

Privatisasi di Indonesia
Di Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur pemerintah tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika sebagian besar saham  PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan Sues Lyonnaise. Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum Pendidikan tahun 2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan pada Oktober 1994.

Secara umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah semakin mahalnya dan susahnya masyarakat menjangkau akses kesehatan, air, pendidikan dan lain-lain. Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari kewajibannya menyejahterakan rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya kepada pasar, yang notabene berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?

Washington Consensus Versus Post-Washington Consensus
Washington Consensus adalah program bantuan kepada negara berkembang yang menghadapi krisis yang mempunyai 10 ketentuan yang harus dilaksanakan oleh negara yang diberi bantuan. Di antara 10 poin tersebut, privatisasi, liberalisasi dan disiplin fiskal adalah pilar utama untuk mendukung terlaksananya fungsi pasar secara efektif.


Washington Consensus kemudian banyak mendapat kritikan atas dampak sosial yang dihasilkannya. Asumsinya bahwa pasar adalah mekanisme sosial yang paling efisien dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dipandang meleset. Menurut banyak entitas gerakan di Negara berkembang (juga di Indonesia), sebagai Negara yang merasakan langsung dampaknya, Washington Consensus mengabaikan persoalan persoalan seperti: redsitribusi pendapatan; pemerataan (equity) di masyarakat ataupun antar negara; isu-isu sosial  seperti ketenagakerjaan dan hak-hak buruh, serta; problem lingkungan hidup.

Kritikan ini sejalan dengan kritikan para ekonom barat pro-pasar seperti Joseph E. Stiglitz, Paul Krugman, Jeffrey sachs dan Jagdish Bhagwati yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Post-Washington Consensus. Consensus baru ini  meyakini perlunya keterlibatan Negara untuk mengembangkan sistem pasar dan pentingnya factor non-ekonomi dalam menjalankan tatanan sosial.

Privatisasi: desakan negara-negara maju
IMF dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat berkepentingan dalam mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan privatisasi. Maka, dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan finansial kepada negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa untuk memasukkan persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh pemerintah.

Kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap ekonomi neo-liberal yang dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial, ekonomi, politik negara maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju, privatisasi berjalan mulus atas kontrol negara yang ketat kepada swasta. Sementara di negara berkembang, jika mengikuti persyaratan lembaga internasional untuk melepaskan kontrol negara terhadap layanan publik, justru akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini disebabkan masih lemahnya fungsi regulasi  pendukung iklim kompetisi dan aturan main yang jelas tentang privatisasi.

Privatisasi segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang tajam dari beragam elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja yang tersedia; ketiga,absennya aturan main yang mengatur privatisasi, sehingga privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pasar daripada pelayanan sosial; keempat, hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru dalam tata kelola aset-aset negara.  

Privatisasi di Indonesia
Di Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur pemerintah tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika sebagian besar saham  PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan Sues Lyonnaise. Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum Pendidikan tahun 2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan pada Oktober 1994.

Secara umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah semakin mahalnya dan susahnya masyarakat menjangkau akses kesehatan, air, pendidikan dan lain-lain. Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari kewajibannya menyejahterakan rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya kepada pasar, yang notabene berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?

No comments:

Post a Comment