PERKEMBANGAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR)
Seiring
dengan peradaban modern eksistensi suatu perusahaan atau dunia usaha terus
menjadi sorotan. Salah satu isu penting yang masih terus menjadi perhatian
dunia usaha hingga saat ini adalah soal tanggung jawab sosial perusahaan
(Corporate Social Responsibility) yang selanjutnya dalam penulisan ini
disingkat CSR. Sebagai bagian dari konfigurasi hubungan antara dunia bisnis dan
masyarakat, persoalan tanggung jawab sosial perusahaan mengalami rumusan
konseptual yang terus berubah, sejalan dengan perkembangan yang dialami oleh
dunia usaha itu sendiri. Pada awalnya dan untuk waktu yang sangat panjang,
dunia usaha barang kali tidak perlu atau tidak pernah berfikir mengenai
tanggung jawab sosial. Hal ini karena proposi teori klasik, sebagaimana dirumuskan
oleh Adam Smith tugas korporasi diletakkan semata-mata mencari keuntungan,
"the only duty of the corporation is to make profit. Motivasi utama setiap
perusahaan atau industri atau bisnis adalah meningkatkan keuntungan.
Secara perlahan ideologi " the only duty of the corporation is to make
profit" yang dianut oleh korporasi telah berubah dengan munculnya
kesadaran kolektif bahwa kontiunitas pertumbuhan dunia usaha tidak akan terjadi
tanpa dukungan yang memadai dari stakeholder yang melingkupinya seperti, manajer,
konsumen, buruh dan anggota masyarakat. Inti dari pandangan ini adalah bahwa
dunia usaha tidak akan sejahtera jika stakeholdernya juga tidak sejahtera.
Perusahaan itu sesungguhnya tidak hanya memiliki sisi tangung jawab ekonomis
kepada para shareholders seperti bagaimana memperoleh profit dan menaikkan
harga saham atau tanggung jawab legal kepada pemerintah, seperti membayar
pajak, memenuhi persyaratan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), dan
ketentuan lainnya. Namun, jika perusahaan ingin eksis dan ekseptabel, harus
disertakan pula tanggung jawab yang bersifat sosial.
CSR pertama kali muncul dalam diskursus resmi-akademik sejak hadirnya tulisan
Howard Bowen, Social Responsibility of the Businessmen tahun 1953 (Harper and
Row, New York). CSR yang dimaksudkan Bowen mengacu kewajiban pelaku bisnis
untuk membuat dan melaksanakan kebijakan, keputusan, dan berbagai tindakan yang
harus mengikuti tujuan dan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Singkatnya,
konsep CSR mengandung makna, perusahaan atau pelaku bisnis umumnya memiliki
tanggung jawab yang meliputi tanggung jawab legal, ekonomi, etis, dan
lingkungan. Lebih khusus lagi, CSR menekankan aspek etis dan sosial dari
perilaku korporasi, seperti etika bisnis, kepatuhan pada hukum, pencegahan
penyalahgunaan kekuasaan dan pencaplokan hak milik masyarakat, praktik tenaga
kerja yang manusiawi, hak asasi manusia, keamanan dan kesehatan, perlindungan
konsumen, sumbangan sosial, standar-standar pelimpahan kerja dan barang, serta
operasi antar negara.
Wacana CSR semakin terasa dengan diterbitkannya buku "Silent Spring"
karangan Rachel Carson yang membahas pertama kalinya tentang persoalan
lingkungan dalam tataran global. Karyanya menyadarkan bahwa tingkah laku
korporasi mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran.Sejak itu,
perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat
perhatian kian luas.Pemikiran korporasi yang lebih manusiawi juga muncul dalam
The future Capitalism yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Menurutnya, kapitalisme-yang
menjadi mainstream saat itu tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun
juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang
nantinya disebut sustainable society.
Di era 1970 an CSR dianggap sebagai isu marjinal tetapi kemudian para pebisnis
dan pemimpin pemerintahan menyadari sepenuhnya bahwa mustahil membebankan
seluruh pemecahan masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan dipundak
pemerintah, sementara di lain sisi, pihak perusahaan punya kekuatan yang hampir
sama dengan pemerintah karena kemampuan ekonominya.
Di Indonesia kesadaran para pelaku bisnis dalam menerapkan CSR relatif baru,
yaitu awal 1990. Adanya anggapan para pelaku bisnis di Indonesia bahwa tanggung
jawab sosial dipandang sebagai aktivitas yang bersifat buang-buang biaya.
Padahal program CSR justru memberikan banyak keuntungan pada perusahaan.
Secara perlahan dalam dunia usaha di Indonesia mulai muncul spektrum baru
berkaitan dengan pentingnya dunia usaha mempertajam kesadaran mereka tentang
tanggung jawab sosial perusahaan. Korporasi harus memandang bahwa tanggung
jawab sosial perusahaan perlu diupayakan di lingkungan internal dan eksternal
perusahaan. Dalam lingkup internal perusahaan, implementasi CSR merupakan
keputusan strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal untuk
menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan
baku dan limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek dalam menjalankan
usaha dijamin tidak menerapkan praktek-praktek jahat. Dalam lingkup eksternal
implementasi CSR harus dapat memperbaiki dalam aspek sosial dan ekonomi pada
lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya serta lingkungan masyarakat pada
umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi kewajiban bersama antar entitas
bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang
berkelanjutan. Maka tidak berlebihan seperti judul dalam konperensi CSR, bahwa
dalam sebuah entitas bisnis, responsible business is good business.
Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga
kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan
nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan
industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap
tidak bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) XXXX-
XXXX, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah
terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan
pendapatan, antar wilayah dan antar kelompok masyarakat.
Masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan
dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR
secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan
masyarakat sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung
membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan
oleh korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan,
sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga
memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses
masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi
program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Hukum sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat merupakan
salah satu instrumen terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik. Para pelaku
bisnis (perusahaan) dan masyarakat hendaknya tercipta hubungan yang harmonis.
Untuk itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat bersinergi, dalam hal ini
perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan kesenjangan yang terjadi.
Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang merupakan subjek
hukum dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan tanggung jawab hukum juga
mempunyai tanggung jawab moral, dimana tanggung jawab moral ini dapat menjadi
cerminan dari perusahaan tersebut.
Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu
sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya punya
tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer
perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung
jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan
dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer
perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak
dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur masyarakat setempat dan
seterusnya.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer
perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga
kepada stakeholders pada umumnya.
Selain itu perusahaan sebagai subjek hukum seyogyanya juga menjadi mahluk
sosial yang pemperhatikan lingkungan sosialnya sehingga perusahaan itu tidak
dirasakan sebagai sesuatu yang asing di lingkungannya. Hal ini sangat penting,
terutama jika kita berbicara tentang perusahaan raksasa yang terkadang
merupakan "negara dalam negara" karena besarnya. Banyak perusahaan
raksasa yang justru berprilaku sebagai penguasa daerah dan mendikte pemerintah
daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah sangat bergantung pada
perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi, lapangan kerja,
realisasi maupun pembangunan masyarakat (Community Development).
Mekanisme pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial di dalam pengertian good
governance, yang subtansi dan pelaksanaanya menunjang pembangunan yang stabil
dengan syarat yang utama efisiensi dan pemerataan. Dalam pelaksanaannya, good
governance mengandalkan rule of law terutama yang mencakup bidang ekonomi dan
politik, penentuan kebijakan yang transparan, pelaksanaan kebijakan yang
accountable, birokrasi yang berkualitas dan juga masyarakat yang capable.
Mochtar Kusumaatmadja mencatat bahwa hukum sebagai sarana pembangunan bisa
berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur
arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.
Dalam konteks perusahaan, berarti hukum berperan penting tidak hanya terhadap
pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders)
dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial,
selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi secara teratur.
Harapan adanya peraturan yang baik serta dijalankannya law enforcement.
Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi
perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Beberapa
korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial
terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya
itu. Karena itu perlu suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur konsep
dan jenis CSR dalam rangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan
nasional. 17
Kebijakan pemerintah Indonesia mengenai CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas. Sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam Undang-undang PT Nomor 40 Tahun
XXXX, pasal 74 ayat (1) menyatakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya
di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tangung
jawab sosial dan lingkungannya. Ayat (2) berbunyi tanggung jawab sosial dan
lingkungan itu merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan
memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Ayat (3) menyatakan perseroan yang tidak
melaksanaan kewajiban sebagaimana Pasal 1 dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (4) berbunyi ketentuan lebih
lanjut mengenai tanggung jawab dan lingkungan diatur dengan peraturan
pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa CSR, sangat dipandang perlu dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari korporasi.
Diundangkannya Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX tentang Perseroan Terbatas
ini, mengisyaratkan bahwa CSR awalnya bersifat sukarela menjadi sebuah tanggung
jawab yang diwajibkan. Namun Undang-undang Perseroan Terbatas secara eksplisit
tidak mengatur berapa jumlah nominal dan atau berapa besaran persen laba bersih
dari suatu perusahaan yang harus disumbangkan. Karena, pengaturan lebih lanjut
merupakan domain daripada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai manifestasi dari
Undang-undang, dan saat ini Peraturan Pemerintah tersebut masih dibahas oleh
pemerintah.
Jauh Sebelum Undang-undang Nomor 40 Tahun XXXX Tentang Perseroan Terbatas ini
diundangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menerapkan CSR yang
diwajibkan oleh Undang-undang Nomor 19 Tahun XXXX tentang BUMN, lewat Program
Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Sebagai manipestasinya telah
dikeluarkannya Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-236/MBU/XXXX tanggal 17 Juni
XXXX dan Surat Edaran Menteri BUMN Nomor SE-433/MBU/XXXX tanggal 16 September
XXXX. Dengan demikian BUMN dapat dikatakan telah jelas aturan mainnya karena
sudah ada Undang-undang tersendiri. BUMN merupakan perusahaan yang dimiliki
oleh negara, bahkan pola CSR mereka sudah rinci aturan pelaksananya.
Praktik CSR oleh BUMN ini menarik untuk dikaji disebabkan oleh faktor pembeda
yang secara normatif mendukung kegiatan kedermawanan sosial BUMN ini seharusnya
dapat berkembang, Pertama, karena sifat dan statusnya sebagai perusahaan milik
negara, BUMN tidak terkendala oleh motif pengurangan pajak (tax deduction)
sebagaimana menjadi pengharapan perusahaan-perusahaan swasta. Kendati pajak
tetap merupakan kewajiban bagi BUMN, kewajiban ini tidak serta merta
mempengaruhi kelancaran kegiatan atau operasi BUMN.Kedua, terdapat instrumen
"pemaksa" berupa kebijakan pemerintah; dimana melalui Kepmen BUMN
Nomor: Kep-236/MBU/XXXX, perusahaan BUMN menjalankan Program Bina Lingkungan
(PKBL). Sehingga dengan praktik derma yang imperatif tersebut dimungkinkan
bahwa potensi rata-rata sumbangan sosial perusahaan-perusahaan BUMN lebih besar
dari perusahaan-perusahaan swasta.
BUMN merupakan salah satu elemen utama kebijakan ekonomi strategis
negara-negara berkembang. Keberadaan BUMN mempunyai pengaruh utama dalam
pembangunan negara-negara dunia ketiga. Setidaknya, BUMN diperlukan dalam
pengaturan infrastruktur dan public utilities, dan menempatkan dirinya untuk
berperan pada hampir seluruh sektor aktivitas ekonomi.
artikel ini menarik dan bisa menambah wawasan baru, salam kunjungan
ReplyDelete