Privatisasi,
Program Penyejahteraan atau Penyengsaraan?
Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta adalah
fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan
reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih
privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan
tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa
IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum
seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu
menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut.
Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia, akses
terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu yang
sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi
program yang begitu dikampanyekan dengan massif?
Privatisasi atau penjualan aset negara kepada swasta adalah
fenomena yang (semakin) marak sejak orde baru tumbang, dan digantikan
reformasi. Bukan saja di Indonesia, hampir seluruh negara berkembang memilih
privatisasi sebagai pilihan kebijakan ekonomi nasional, atas usulan dan
tuntutan lembaga-lembaga internasional. Lembaga-lembaga internasional serupa
IMF dan Bank Dunia beranggapan, dengan menyerahkan penanganan kebutuhan umum
seperti pendidikan, air bersih, dan layanan kesehatan kepada swasta, akan mampu
menjawab masalah krisis ekonomi dan kesejahteraan rakyat negara tersebut.
Tetapi, kenyataan yang terjadi berbalik dari harapan. Khusus di Indonesia, akses
terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan, air bersih, menjadi sesuatu yang
sangat mahal. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Mengapa privatisasi menjadi
program yang begitu dikampanyekan dengan massif?
Washington Consensus Versus Post-Washington Consensus
Washington Consensus adalah program bantuan kepada negara
berkembang yang menghadapi krisis yang mempunyai 10 ketentuan yang harus
dilaksanakan oleh negara yang diberi bantuan. Di antara 10 poin tersebut,
privatisasi, liberalisasi dan disiplin fiskal adalah pilar utama untuk
mendukung terlaksananya fungsi pasar secara efektif.
Washington Consensus kemudian banyak mendapat kritikan atas dampak
sosial yang dihasilkannya. Asumsinya bahwa pasar adalah mekanisme sosial yang
paling efisien dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dipandang meleset.
Menurut banyak entitas gerakan di Negara berkembang (juga di Indonesia),
sebagai Negara yang merasakan langsung dampaknya, Washington Consensus
mengabaikan persoalan persoalan seperti: redsitribusi pendapatan; pemerataan
(equity) di masyarakat ataupun antar negara; isu-isu sosial seperti ketenagakerjaan
dan hak-hak buruh, serta; problem lingkungan hidup.
Kritikan ini sejalan dengan kritikan para ekonom barat pro-pasar
seperti Joseph E. Stiglitz, Paul Krugman, Jeffrey sachs dan Jagdish Bhagwati
yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Post-Washington Consensus.
Consensus baru ini meyakini perlunya keterlibatan Negara untuk
mengembangkan sistem pasar dan pentingnya factor non-ekonomi dalam menjalankan
tatanan sosial.
Privatisasi: desakan negara-negara maju
IMF dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat
berkepentingan dalam mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan
privatisasi. Maka, dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan
finansial kepada negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa
untuk memasukkan persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh
pemerintah.
Kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap
ekonomi neo-liberal yang dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial,
ekonomi, politik negara maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju,
privatisasi berjalan mulus atas kontrol negara yang ketat kepada swasta.
Sementara di negara berkembang, jika mengikuti persyaratan lembaga
internasional untuk melepaskan kontrol negara terhadap layanan publik, justru
akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Ini disebabkan masih lemahnya fungsi regulasi pendukung iklim
kompetisi dan aturan main yang jelas tentang privatisasi.
Privatisasi segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang
tajam dari beragam elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja
yang tersedia; ketiga,absennya aturan main yang mengatur privatisasi, sehingga
privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pasar daripada
pelayanan sosial; keempat, hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang
publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru
dalam tata kelola aset-aset negara.
Privatisasi di Indonesia
Di Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur
pemerintah tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika
sebagian besar saham PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan
Sues Lyonnaise. Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum
Pendidikan tahun 2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan
pada Oktober 1994.
Secara umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah
semakin mahalnya dan susahnya masyarakat menjangkau akses kesehatan, air,
pendidikan dan lain-lain. Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari
kewajibannya menyejahterakan rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya
kepada pasar, yang notabene berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?
Washington Consensus Versus Post-Washington Consensus
Washington Consensus adalah program bantuan kepada negara
berkembang yang menghadapi krisis yang mempunyai 10 ketentuan yang harus
dilaksanakan oleh negara yang diberi bantuan. Di antara 10 poin tersebut,
privatisasi, liberalisasi dan disiplin fiskal adalah pilar utama untuk
mendukung terlaksananya fungsi pasar secara efektif.
Washington Consensus kemudian banyak mendapat kritikan atas dampak
sosial yang dihasilkannya. Asumsinya bahwa pasar adalah mekanisme sosial yang
paling efisien dalam memaksimalkan kesejahteraan sosial dipandang meleset.
Menurut banyak entitas gerakan di Negara berkembang (juga di Indonesia),
sebagai Negara yang merasakan langsung dampaknya, Washington Consensus
mengabaikan persoalan persoalan seperti: redsitribusi pendapatan; pemerataan
(equity) di masyarakat ataupun antar negara; isu-isu sosial seperti ketenagakerjaan
dan hak-hak buruh, serta; problem lingkungan hidup.
Kritikan ini sejalan dengan kritikan para ekonom barat pro-pasar
seperti Joseph E. Stiglitz, Paul Krugman, Jeffrey sachs dan Jagdish Bhagwati
yang kemudian melahirkan apa yang disebut dengan Post-Washington Consensus.
Consensus baru ini meyakini perlunya keterlibatan Negara untuk
mengembangkan sistem pasar dan pentingnya factor non-ekonomi dalam menjalankan
tatanan sosial.
Privatisasi: desakan negara-negara maju
IMF dan Bank Dunia adalah agen-agen internasional yang sangat
berkepentingan dalam mendesak negara berkembang untuk melaksanakan kebijakan
privatisasi. Maka, dalam setiap penandatangan Letter of Inten, program bantuan
finansial kepada negara-negara berkembang, IMF dan Bank Dunia tak pernah alpa
untuk memasukkan persyaratan Privatisasi sebagai program yang mesti ditempuh
pemerintah.
Kebijakan privatisasi dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap
ekonomi neo-liberal yang dianut banyak negara maju. Masalahnya, kondisi sosial,
ekonomi, politik negara maju dan berkembang amatlah berbeda. Di negara maju,
privatisasi berjalan mulus atas kontrol negara yang ketat kepada swasta.
Sementara di negara berkembang, jika mengikuti persyaratan lembaga
internasional untuk melepaskan kontrol negara terhadap layanan publik, justru
akan menjadi ladang subur bagi berkembangnya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme. Ini disebabkan masih lemahnya fungsi regulasi pendukung iklim
kompetisi dan aturan main yang jelas tentang privatisasi.
Privatisasi segera menjadi kontroversi lalu mendapat kritikan yang
tajam dari beragam elemen masyarakat, disebabkan implikasi yang diakibatkannya: pertama, tingginya harga barang publik yang harus ditanggung masyarakat; kedua, berkurangnya lapangan kerja
yang tersedia; ketiga,absennya aturan main yang mengatur privatisasi, sehingga
privatisasi lebih ditujukan untuk meningkatkan keuntungan pasar daripada
pelayanan sosial; keempat, hilangnya akses masyarakat miskin untuk mengkonsumsi barang
publik; kelima, hilangnya kontrol publik atas asset-aset Negara; keenam, mengundang bentuk korupsi baru
dalam tata kelola aset-aset negara.
Privatisasi di Indonesia
Di Indonesia, meski kebijakan privatisasi baru pertama kali diatur
pemerintah tahun 2001, namun prakteknya sudah dimulai tahun 1998, ketika
sebagian besar saham PD. PDAM Jaya diambil alih oleh Thames Water dan
Sues Lyonnaise. Kemudian di bidang pendidikan, dengan diajukan Badan Hukum
Pendidikan tahun 2005. Dan sebelumnya privatisasi Indosat yang diberlakukan
pada Oktober 1994.
Secara umum, dampak dari privatisasi layanan publik itu adalah
semakin mahalnya dan susahnya masyarakat menjangkau akses kesehatan, air,
pendidikan dan lain-lain. Privatisasi semakin menjauhkan pemerintah dari
kewajibannya menyejahterakan rakyatnya. Mungkinkah harus diserahkan semuanya
kepada pasar, yang notabene berwatak kapital, profit, dan kompetisi semata?
No comments:
Post a Comment